MEMBACA berita tentang undangan buka puasa bersama dari seorang media darling bernama Ahok yang sepi kemarin (16/6), saya jadi ikut terenyuh.
Bukan terenyuh karena orang yang biasa dikerubungi wartawan dalam setiap kesempatan itu, tiba-tiba tak satupun wartawan yang mau datang memenuhi undangan Ahok untuk berbuka puasa.
Tak ada kalimat meledak-meledak dengan mata melotot sebagaimana biasa ia meladeni wawancara yang beritanya akan sekejap menghiasi media.
Saya terenyuh membayangkan aneka makanan hidangan yang telah disiapkan itu menjadi dingin sia-sia tak tersentuh mulut. Tentu menu istimewa. Sebab itu adalah jamuan acara selevel gubernur yang dilakukan di rumah dinasnya.
Entahlah, tiba-tiba pikiran saya jadi ngelangut. Tersedot ke masa 40 tahun silam. Di bulan yang sama, bulan puasa. Saya tidak tahu saat itu kalender Masehinya bertepatan di bulan apa.
Sore itu hujan deras. Bila hujan tiba, rumah kami trocoh atau bocor. Sebab, rumah itu tidak ada plafon. Hanya genting yang memayungi, sehingga air hujan dan butiran-butiran kotoran sering jatuh.
Dan bila sudah demikian, maka rumah kami yang berlantai bata merah itu jadi lembab. Lebih parah lagi, lantai dapur yang berujud tanah liat itu akan becek.
Kami tidak punya jam. Kami masing-masing sudah duduk di lantai menunggu maghrib tiba. Biasanya, penanda maghrib itu adalah suara meriam dari kota yang berbunyi memembahana. Atau suara kentongan dan bedug yang disambungkan ke pengeras suara dari masjid.
Kali ini, penanda itu tidak ada. Maka, keputusan berbuka itu didasarkan dengan “ilmu kira-kira” yang diputuskan oleh ayah saya. Sambil mandang langit-langit rumah, beliau memberi komando.
“Ayoo… sepertinya sudah maghrib.”
Betapa riangnya kami. Kami berdelapan segera menyantap menu buka puasa. Duduk melingkar di atas tikar.
Menu buka puasa kami ya itu-itu saja. Sayur bening, sayur lodeh, trancam, sayur tempe, sayur asem, atau lainnya dengan lauk tempe goreng atau peyek kedelai dan sambal tomat. Minumnya teh manis dan sekali-kali ibu akan membuat dawet.
Kami tidak pernah makan ikan. Sebab, ibu saya jijik sama ikan, terutama ikan sungai atau ikan sawah.
Itulah menu buka puasa sehari-hari. Itulah acara bukber yang setiap hari kami nikmati. Menu istimewa berupa opor ayam, telor, dan pendamping lainnya, baru akan turun pada hari puasa terakhir atau saat malam takbiran.
Kami tidak mengenal istilah buka puasa bersama sebagaimana hari-hari ini kita dengar. Sebab setiap hari praktiknya sudah berbuka puasa bersama keluarga. Juga, belum pernah saya alami ada undangan untuk makan buka puasa bersama di suatu tempat tertentu.
Meski masing-masing anak sudah mendapat jatah, tetap saja berebut mengambil lauk atau lainnya. Tak ada istilah makan pembuka atau ta’jil. Yang namanya buka ya langsung makan. Setelah itu baru kami berangkat ke mushola yang terletak di sisi kanan halaman rumah Mbah Imam yang luas itu untuk sholat maghrib.
Entah karena pengalaman makan seperti itu, sampai sekarang menu di meja makan saya tidaklah berubah. Harus ada tempe goreng, sambal dan lalapan.
Apabila istri saya memasak ayam atau daging, seringkali saya hanya memgambil sepotong. Padahal, ya jumlahnya cukup.
Ketika hal ini saya ceritakan di depan anak dan istri saya bahwa dulu saat seusia Faiz, lauk itu dijatah masing-masing sepotong, tempe satu biji, telor satu butir dipotong jadi delapan. Sementara, hari ini setengah ekor ayam, bisa habis dimakan sendiri oleh anak saya.
Mendengar cerita itu, sontak anak saya neyeletuk:
“Kasihaan deh Ayah. Orang desa. Jadul he he he.”
Source: islampos.com