20/06/2016

Kitab Allah Menjadi Prioritas


“Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”

HISYAM bin Abdul Malik suatu ketika datang menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz mewakili keluarga Bani Marwan.

“Wahai Amirul Mukminin! Aku adalah utusan kaummu (keluargamu) yang datang menemuimu. Apa yang akan aku sampaikan adalah suara hati mereka. Mereka semua memintamu untuk mengubah keputusanmu tentang apa yang ada di tanganmu (harta), dan memberikan hak mereka sebagaimana dahulu sesuai dengan kewajiban mereka.” kata Hisyam bin Abdul Malik.

“Apa pendapatmu jika aku membawa dua catatan, yang pertama adalah catatan dari Muawiyah sedang yang kedua adalah catatan dari Abdul Malik, kedua-duanya dengan satu perintah, lalu catatan yang mana yang harus aku ambil?” tanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

“Tentu saja, catatan yang lebih dulu!”

“Tapi aku mendapati Kitab Allah lebih dulu (dari keduanya-pen). Maka aku akan menghukumi dengannya bagi siapapun yang datang padaku, apakah ia berada di bawah pemerintahanku hari ini maupun mereka yang telah mendahuluiku.”

Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat: 1).

Ayat ini sangat tepat dengan karakter kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang mendahulukan Kitab Allah daripada yang lainnya. Kitab Allah adalah sumber kebenaran, jauh dari kesalahan-kesalahan. Maka adalah sebuah keputusan yang tepat jika kita mendahulukannya daripada yang lainnya.

Ayat diatas juga merupakan salah satu adab Islam tentang tata cara bermuamalah dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Maksud ayat itu adalah, janganlah kalian tergesa-gesa menghukumi segala sesuatu sebelum hukum Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ikutilah ia disetiap urusan.”

Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman berkata kepadanya: “Dengan apa kamu akan berhukum (di sana)?’

“Dengan kitab Allah.” jawab Mu’adz.

“Jika kamu tidak mendapatinya?”

“Dengan sunnah Rasulullah Saw.”

“Jika kamu tidak mendapatinya?”

“Aku akan berijtihad dengan pendapatku.”

Maka Rasulullah Saw menepuk dadanya dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah dalam hal yang diridhai oleh Rasulullah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Maksudnya adalah, Mu’adz bin Jabal mengakhirkan pendapat dan ijtihadnya setelah apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Maksud (janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya) adalah, janganlah kalian berkata menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah.”

Adh-Dhahhak berkata: “Janganlah kalian menghukumi sebuah perkara tanpa menggunakan hukum Allah dan Rasul-Nya dari syari’at-syari’at agama kalian.”

Sedangkan Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” dengan perkataan maupun tindakan.

Bermain wanita adalah sama halnya dengan zina, haram hukumnya dengan jelas dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Sekalipun bermain wanita adalah tradisi sebagian kaum bangsawan, tapi bukan berarti hal itu berlaku untuk seorang bangsawan besar semisal Umar bin Abdul Aziz, karena dia mendahulukan apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah daripada tradisi jahiliyah itu.

Bermabuk-mabukan adalah haram hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Sekalipun sebagian bangsawan ketika itu menyukai khamer, minuman keras, namun bukan berarti itu disuka oleh bangsawan nomor satu seperti Umar bin Abdul Aziz, karena ia tahu apa yang ada dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah haruslah didahulukan daripada tradisi murahan itu.

Jelas sudah sikap tegas yang diambil oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz bukan semata-mata karena dorongan egois atau sikap diktator, namun itu adalah sikap tegas yang merupakan refleksi dari ayat-ayat Allah SWT.

Referensi:  Umar bin Abdul Aziz 29 Bulan Mengubah Dunia/Karya: Herfi Ghulam Faizi, Lc/Penerbit: Cahaya Siroh



Source: islampos.com